Rabu, 12 Februari 2014

Sebuah Prahara

Jangan beri khianat didepanku. 
Jangan tuang kepalsuan dilangkahku. 
Jangan muntahkan janji jika munafik kudapati. 
Jangan berkata manis didekatku, jika terdapat
racun untuk kuteguk. 

Jangan hampiri warnaku untuk tersentuh oleh siapapun.
Jangan ceramahin hidupku jika hidup yang menceramahi
tak lebih dari putih diatas hitam.
Jangan nalari rasaku jika didalamnya hanya dusta.
Jangan tengok dan tatap sakit serta luka, telah ku lampirkan
ditoreh darahku sebuah dendam benci ini.

Jangan berteriak kata dan mengumpat dibelakangku.
Jika kau tangguh temui ruangku dijelata nyataku, maka
bersulang dengan kematian bersamaku.
Kan ku bunga hitamku merobek tiap jangkar-jangkar
yang menikamku secara perlahan.
Dan, jasad tubuh-tubuh itu kusantap sebagai
makanan panjang waktuku.
Prahara yang akan terlewati...

Sekuntum Mawar Berduri

By:Vitri Yayat Yachya




Sekuntum mawar berduri..
Lebur hilang tandas dialun irama rayu.
Menelan ludah sedikit renggang tenggorokan kerang. 
tempat menahan sesakit diri..
Lepas mayang menjerat hingar..

Dengan kelakar terjerumat liar..
Ia menggila dengan celoteh diatas kanfas tak bercadar..
Semakin terpias diraguman kelu berakar..

Sebuah borok yang menganga.
Menutup lalang dipadang gembala rangkuman cinta. 
Prahara bengis meninggalkan rindu diperbatasan itu..
Kematian yang terjangkar..
Aku adalah sebuah legenda itu yang takkan pernah usai.
Menjadi Prahara tanpa tulisan..

Menatap kilatan hitam dianumerta.
Aku sebuah serpihan perdu-perdu masa lalu.
Bahwa aku hanya laknat dari tumpukan debu kotor hitamnya
tanah lumpur ditetubuh bekuku. 
Sesuatu perih dihatiku.
Didih darahku mengalir..memburu 
detak jantungku seperti mercusuar.
Desahmu dimalam itu membuat keringatku menetes. 

Aksaraku tetap menyeruak diantara hitamnya lembaran waktu. 
Sekuntum mawar berduri..
Prosaku tentangmu..telah mati bisu. 
Enggan berlalang kelana..
Hanya mendendangkan serumpun kalbu..
Berdecak pecah menjadi retak..
Sepak mengilas sebelah mata..

Sabtu, 08 Februari 2014

_Melody Dawai-Dawai Gitar Cinta Rindu Dan Bintang_

Cerpen Telaga Sastra Cinta.
Oleh: Vitri Yayat Yachya


Deras rintik gerimis hujan masih belum terhenti, kuputar sebuah tembang kenangan
Ratih Purwasih_Yang Hujan Turun Lagi. Sebuah memory yang indah, yang pernah kujalani
bersama Rindu. Rinduku..wajahnya lugu, senyumnya yang memutari tiap ruang hatiku. 'Clik..clik..terdengar
tetes gerimis hujan mengenai dedaun pohon diujung seberang pintu gerbang rumahku. Tanak rasanya jika
ingatan itu kembali ada, sesak rasa jantungku untuk berdetakpun tak sanggup. Sesuatu menetes dipias pipiku,
Yach..sebuah airmata berderai tiba-tiba. Dan adikku dari arah belakang mengagetkan lamunanku, 'Kak..kak Cintaaa !?.
Sapa Bintang kepadaku. 'Yaa..berisik Lek, bisa ngga sich kalo masuk kamarku ketuk dulu", ini udah kaya hantu yang
masuk ngga permisi', enakan dapat petasan dariku. Jawabku yang panjang lebar pada Bintang, kembali Bintang berkata..'Kakk, udah..udah
marahnya. 'Siapa bilang ade ngga ketuk pintu, ade udah ketuk tapi kak Cinta ngga balas, eehh..malah bengong dekat jendela.
'Hayoo..mikirin Kak Rindu yach, jangan bohong kak sama ade. Degh..jantungku tak karuan ketika kata-kata Bintang adikku
membuat labir bibirku kelu. Kupalingkan tatapan mata Bintang, kuhela nafas dalam-dalam kemudian aku duduk diranjang tempat tidurku.
Kutarik tangan Bintang untuk duduk bersebelahan denganku, akhirnya Bintangpun mau duduk didekatku. xxxx

''Kakk..maafin kata-kata ade yang kasar, ade tahu kak Cinta belum bisa melupakan
Kak Rindu. Ade juga kehilangan kak Rindu, ade belum sempat membalas tiap kebaikan
kak Rindu, semua terasa sakit..sakit kak, sakitt hatiii adee. Perkataan Bintang terseling tangisan, kupeluk Bintang
adik satu-satunya dari Rindu. Wajah Bintang sedikit mirip dengan wajah Rindu, Bintang juga mahir bermain gitar sama
persis dengan Rindu. Aku kangen banget sama kamu 'Dut panggilanku pada Rindu gumam hatiku, yang memeluk Bintang.
'Tidur sana udah malam tau, tuch jam udah jam 22:30 malam, besok aku mau buka toko agak pagi lagi pula kamu besok kuliah.
Kataku pada Bintang sembari mengecup keningnya, Bintangpun tersenyum menghapus airmatanya. Dan, kak Cinta..good night' kata Bintang.
'Good night..sis, jawabku. Pintu kamarku tertutup, Bintangpun berlalu menuju kamarnya untuk memejamkan mata. Dan akupun terlena dalam pejaman
mata malam itu. xxxx

Pagi yang cerah kudapati secangkir kopi buatan Bintang, 'Hmmm..harumnya
seperti buatan Rindu. Bintang yang baru dua bulan tinggal bersamaku benar-benar
mengingatku pada Rindu. 'Kak kok ngelamun..hayoo atuh dimakan sarapan buatan Bintang,
nich cobain dech enak tahu kak. Bintang menyuapiku dan aku menuruti kata-kata Bintang, 'Achh..
Rindu kamu tahu adikmu itu hampir mirip denganmu, tapi tidak..aku kan kakaknya harusnya kujaga ia
seperti adikku sendiri. Hampir kulupa jika pagi ini aku harus buka toko, 'Yukk..berangkat. Kataku pada Bintang
kemudian kuboncengin Bintang dengan motor peninggalan Rindu. Tak berapa lama sampai dikampus uni darma sebuah
falkutas daerah bekasi perbatasan jakarta. 'Kak..hati-hati dijalan, jangan ngebut. Kata Bintang mengingatkan aku tidak ngebut, kuanggukan
kepala kutinggalkan Bintang dikampusnya. xxxx

"Pagi..Kak, sapa Lena. 'Pagi juga, loch..mana Dion.., Sejenakku hentikan perkataanku karena aku tengah
membuka toko. 'Masuk lena, kataku. 'Iya.., jawab Lena. 'Hmm..kamu ngga diantar Dion 'Len, memangnya Dion kemana !?
Tanyaku pada Lena yang menanyakan Dion, 'Mas Dion ngedadak ke Surabaya..kak, jawab Lena. Tumben, kenapa tuch anak ke Surabaya,
biasa dia sms aku 'Len, astagaa..hpku baterainya lowbet. Kataku sembari tepuk jidat maklum mungkin karena faktor usia dan lelah itu menghambat
fikiranku. Lena yang mengerti tabiatku hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Kubuka hpku yang lagi charger kulihat ada dua pesan, satu pesan
dari Dion yang mengatakan ''Cin..aku harus ke Surabaya ibuku sakit, mungkin aku pulang minggu depannya, titip bojoku Lena..yoo, 'Dion. Dasar Dion nikah saja belum udah ganjen, kubuka
satu pesan lagi. Dash..degh..kubaca pesan itu yang membuatku hampir tak berkutik, jika sms gelap itu akan menikam Bintang karena Bintang adik dari Rindu. Tiba-tiba aku dikejutan deringan
telphone Toko. Aku hanya mondar mandir, kemudian Lena yang mengangkat telphone, hampir kaget mata Lena terbelalak kulihat ekspreksi wajah Lena. Aku diam perlahan mata ini menatap dalam-dalam.

Kak ada baiknya kita tutup dulu Toko ini, Lena takut hal serupa terulang kembali, kita jemput Bintang. Begitu kata Lena, kembali aku menganggukan kepala dan melepas
kabel charger hpku. Kemudian kutarik tangan Lena untuk meninggalkan ruang Toko, jika aku ingat malam nanti adalah Shownya Bintang. Selesai kututup Toko, aku starter motor
sedang Lena melaju bersama sedan pick upnya. Satu jam setengah sampai ku dikampus Uni Darma, kulihat Bintang bersama Riszki..Merri..dan Burhan. Kuhampiri mereka sembari menarik tangan Bintang.
Kulihat Bintang tidak kenapa-kenapa, kusuruh ia naik sedan pick up milik Lena, wajah Bintang terlihat heran menatapku. Yachh..inilah rasa takut, takut yang teramat dalam, jika aku takut kehilangan orang yang
sangat berarti. Entah karena aku mencintai Bintang diam-diam atau karena aku takut Pembunuh misterius itu membunuh Bintang. Rindu, kucoba semampuku untuk menjaga Bintang. xxxx

Tiba-tiba aku dikejutkan tepukan tangan yang hingar bersorak 'Yell..yell..pada Bintang. Malam yang penuh semarak, Bintang menghampiriku, akupun meraih tangan Bintang.
Dan, jdorr..suara letusan pistol bukan mengenai Bintang, tapi..tapi padaku, kulihat Lena memegang dadaku. Tubuhku tergigil..kubisikan kata ditelinga Bintang, 'Jaa..jann..ngan..menangis
aku akan baik-baik saja, too..longg..mainkan melody dawai gitarrmuu..Bin..bintang. Aku mau dengar dan aku mau bilang..aku jatuh cinta paadaamu. Tangis Bintang semakin bertambah, aku memeluk dan
mencium labir bibirnya. Sayup-sayup kudengar lantunan indah melody dawai-dawai gitar rindu dan bintang. Dan mataku rapat terpejam aku melayang dengan senyuman, menggapai Rindu disana. Dan pembunuh itu
melewati sebuah gedung polisi menembaki pembunuh itu..Dion tunangan Lena. Kukecup Bintang yang tak sadarkan diri, maka akupun pergi tanpa penyesalan. xxxx

 

                                                              
                                                                  _Tamat_

Senin, 03 Februari 2014

Bung......Makasih, Bung !!!

By: Kamboja Wangi
18 Desember 2013 pukul 19:58


terimakasih,Bung
banyak pengetahuan yang akhirnya aku pahamkan untuk hatiku,
meski aku bukan perangkai kata,
meski aku bukan peronce aksara yang baik,
ternyata,
tajam sebuah tulisan mampu tersampai
meski lewat sirat utawa surat,

terimakasih,Bung
banyak pengetahuan yang akhirnya aku pahamkan pada diriku,
berselancar tak musti di kapal yang kuat,
diperahu kertas pun mampu melaju indah,
maka, teruslah berdayung,Bung
tanpa perlu engkau melihat ombak
yang sempat mengalun biru deburnya,
jangan peduli,Bung
meski engkau menyakitinya,

terimakasih,Bung
engkau sudah menyakitiku,
dan akan kupahamkan itu selamanya,
terimakasih,Bung !!!

Larik Seperempat January

By: Kamboja Wangi
5 Januari 2014 pukul 21:07


maka ketahuilah,
engkau mengiris hati,
seperempat january menggenapi sakit menikam ulu hati,
aku bukan sebuah badut,
untuk keuntungan membuatmu tersenyum,
jabatku terlunta,
senyumku terluruh,
senangmu di atas perihku,
maka ketahuilah,
seperempat january ini berharap engkau paham,
aku bukan sebuah untung dan rugi,
tak ada laba diantara kerap amarah,
pun dibalik serigala yang mengaum,
maka tersenyumlah,
tiadaku melepas penatmu.
maka,
larik ini mewakilku,
meski tanpa indah dan puja kata.

Aku Bukan Pemegang Hatimu

By: Kamboja Wangi

24 Januari 2014 pukul 20:03


Aku tidak akan meninggikan rinduku,
aku tidak akan meninggikan cintaku,
akan kujumput dari liang hatiku
dan akan kujumput dari senandungnya rasa,
kan kudekritkan di alun semilir,
aku bukan cendekia cinta
yang harus menadah rindu
dari Sang Duta Asmara,
aku juga bukan pecundang
yang memanipulasi hati.
Kubiarkan sang waktu mencekikku,
terkubur lapuk hatiku,
rindu ini menyakitiku,
rindu yang tiada pernah berujung,
dan ternyata,bertepuk tak bisa sebelah,
rindu menangis,
rinduku yang nelangsa,
rinduku yang tak mampu menjamah hatimu, dan aku bukanlah pemilik hatimu.

Kidung Senja Kinanti

By: Kidung Senja Kinanti
1 Agustus 2013

 
 
KASIH....
SEPERTI YANG KAU PINTA...
BILA RINDU DATANG MELANDA....
PANDANGLAH SUNSET SENJA INDAH KITA...
PANDANGLAH DENGAN CINTA YANG KITA PUNYA....
GANTUNGKANLAH ASAMU DISANA..

SAAT INI KUSEDANG ADA DISINI SAYANG....
DISUNSET INDAH KITA...
MENANTIMU DENGAN PENUH HARAP DAN CINTA....
ADA SENYUMMU DISANA...ADA CANDA CAMAR PULA...
PASIRPUN BERBISIK INDAH...BERCENGKERAMA DENGAN OMBAK YANG PECAH....

KASIH....
BISIKKANLAH PADA ANGIN RINDUMU UNTUKKU...
BISIKANLAH KATA MESRA PENUH CINTA PADA SANG BAYU...
AGAR KU BISA BERMIMPI INDAH TENTANGMU....TENTANG KITA....


KIDUNG SENJA 01082013

Aku Denganmu Diantara Khianat

Senyum ini telah kulepaskan dengan tangisan.
Terburu oleh tatapan hingar berkelejit hitam.
Walau tak adil bagiku kuremang cumbumu.
Khianat terpulang ditubuh nista terpencar.
Entah..apakah gelisahku adalah dosa.
Selalu langkahku terhenti dari tikaman.

For darkest eyes, in darkest hour from bleeding heart.
Itulah aku yang terkikis dari rengkuhan separuh saja.
Hingga tersadarpun aku tak tahu harus memilih hitam
atau terang dengan cibiran.
Diam..jangan berbicara sepatah katapun karena lelahku
telah terlumuri dendam.
Retak sabarku dari hingar lilitan bejad.

Mengapa kau tuang buain, jawablah jangan kau sembunyikan pedih itu.
Aku lebih terpedihi tersingkir jauh tak boleh merenda kisah
dengan ulasan rasa.
Kau bukan teruntai dengan rasa..tapi kau hanya menggila pada sajak, puisi, syair diarena detakku.
Cukup sudah kuraba perih bungkamnya hati digerbang duka.
Kau tetap dengan caramu dan aku tetap dengan caraku.
Aku elangkan rasa ini.

Aku Menangkapmu Dalam Tangisku


Masih dengan serangkuman rinai gerimis hujan merenda.
Dibawah pepayungan hitam tatap mataku berkilat nanar.
Mencari muara-muara telaga tempat kunaungkan lelah.
Entah kilasan menyabar dititik diamku sorot wajahmu dengan
tatapan sangar penuh helaan luka tersembunyi.
Perempuanku..engkau menari tawa tapi hatimu tersimpan gumpalan awan.
Yach..kau pecahkan rasamu dengan bait sajakmu.

Rerindu serindu melagum dalam ayunan nalarmu.
Bias-bias rerumput dipematang lalang seruak menyumbar
diteladah jiwa.
Lihai gerak tanganmu memainkan retakan tapi tetap ada
luka disaduranmu..intan baiduriku.
Apakah masih kau pintal senja ini dan senja-senja sebelumnya..desahku bertanya.
Kau diam dengan melimpat jika kau memegang pedih itu.
Isi dengan lebam kelam ruangmu menata tanpa kau tatap.
Serangkuh angkuh digenangan airmatamu.

Dan aku menangkapmu dalam tangisku.
Mencoba menyulam tanaknya genang dipembatas simpul.
Ini maumu..maka terukir lukis bukan puisi tapi sederet perih
diradang otakku yang mengikis mencatatmu.
Achh..perih ini bukan perih untuk kesekian kali aku diam tak ingin kau berkelebat dalam jiwaku.
Teriakmu dengan aliran air telaga dimuaramu..bidadari kelam dikesumbat benakku.
Sastra terengkuh dipedalaman aromatikmu..terjetrak dalam tuturan beku..engkau jejal dengan sembunyi hatimu penuh
dengan bisikan pedih.
Cinta bawa aku pergi..teriakmu dalam hati..dan aku pergi untuk tidak memelukmu dalam terjalnya deraku.

Asmarawedha Prahara Puisi Cinta Dan Rindu

Jangan sentuh hati ini...
Penuh nista dan lumpur berbau hitam...
Mendesah erang tentang dendam...
Tak punya cinta untuk kau bawa pulang...
Aku hanya jejak yang terbuang dimasa itu...
Sebuah jejak berjelangga keruh terdiam dibendungan peluh...
Yang tandas kering penuh teriakan maki merincu kalbu...

Jangan ingat setangkai mawar hitamku...
Penuh racun menyumbat diperedaran tubuhmu...
Asmarawedha menyusup duka berduri angkara dikecam srigala...
Prahara melantun dideru tangis dalam isakan setengah mati...
Biar hilang raga puisiku nanti, tak bertelatah tentang cinta dan rindu lagi...

Simpan saja rindumu padaku...
Usah kenang wajah kerutku...
Sebagian buku telah kurobek, untuk tidak menjadi
penghalang kecupan indah baidurimu...
Buang resah yang separuh, nikmati harimu yang
tertatap penuh kasih diteduh palungannya...
Aku bukan secangkir kopimu yang dapat berceloteh malamku...
Biarkan aku tertepis tanpa perlu ada saduran rindu...

Kututup waktu senandung syair diatas cakrawala biru...
Kisar kisah jangan terpetik oleh benak insan merindu...
Kepak anyelir mawar hitamku banyak darah mendidih benalu...
Membuai kata para sastra tak punya malu berbilah lidah kesumat nafsu
yang tersirat diwedharaku...
Jangan berisap sebungkus permanent diruang rongga jiwa yang berkarang tipu...
Sudahi permainan jika tangan-tangan takdir dapat menghunus laknat itu...
Aku diam untuk hatiku, untuk jiwaku, untuk magda yang tersisa tanpa diketahui..kemana
aku pergi nanti...

~** Camelia **~

16 September 2013 pukul 20:36


Camelia......
Coba dengar hatiku yang berdegup..sayang.
Yang selalu mengatakan kamu adalah hatiku.
Harum aroma namamu selalu memikat ketika aku risau.
Tak bisa kumarah ketika kau manja padaku.
Tak bisa kumarah ketika kau merajuk padaku.
Karena yang tergurat dihatiku cuma bingkisan namamu.
Terselip dihatiku ketika aku gelisah.

Camelia......
Coba rasakan debar jantungku yang bergemuruh..sayang.
Yang selalu mengucapkan kamu adalah jiwaku.
Percikan namamu terang dalam langkahku.
Tak bisa kupergi ketika kau diam tak berkata.
Tak bisa kuberlalu jauh ketika kau diam tak berucap.
Karena detak jantungku terus berdegup mengatakan aku cinta padamu.

Camelia......
Tuhan memberi satu bingkisan terindah dalam waktuku.
Kado rindu dan cinta yang mengalir darimu.
Takkan ada yang menyakiti hatimu...karena aku didekatmu.
Takkan ada airmata yang menetes diwajahmu.
Semua telah kubasuh dengan kasih yang tak bisa kuterjemahkan pada dunia.
Tetaplah bersamaku menyusun hari waktu yang akan pergi.

~** Senandung Badai **~

9 September 2013 pukul 16:07


Desir angin membungkam lapisan bumi.
Hitam awan bersemburat terdengar guntur menyepak langit.
Tanah ini basah dengan iringan gerimis hujan tiada henti.
Terkulai tubuh diatas pematang jerami melonjak teriak hantamkan sepi.
Penat jiwa berlegam pedih memangku mimpi sebatas diri.
Hilang musnah terbawa puing setanggi kenangan bernyanyi perih.
Aku berhenti diujung sunyi.....

Hilang akal sadar jiwa tak mampu kembali, tertawa riang kalbu
terusik kumpulan pedih.
Meniti waktu terjatuh dalam gumpalan caci, menampik hari kapan
pagiku terlihat berseri.
Lewati barisan kelam membuat undakan setinggi tebing.
Lelah aku disudut remang gulita hari.....

Kecamkan benak menuntut kasih yang pergi, kemana hilang
rindu cintaku ini.
Kutepis usangnya titian tangis, tetapi rinai airmata belumlah usai.
Semakin mengarus gelombang pilu, menghimpit ruang dinding jiwaku.
Ada kepingan senandung badai tak mau sirna.

Catatan Sang Bumi

11 September 2013 pukul 14:28


Karmapala memegang angkara menjatuhi tandu dipantai gangga.
Dunia berguncang teriak tangis mendera, coba berlari tersilap dalam
permainan lingkaran api.
Tanah merah retak terbelah seperti diriku yang sudah remuk poranda.
Buntu akal fikiran, buntu jalan dalam hati, termangu aku disudut pedih.
Senyum simpul menepis menyisakan arakan luka direlung jiwa.
Dosakah aku bila menyinta itu salah,  salahkah aku bila rindu itu terdiam.
Karena aku bukan tentara yang dapat menopang senjata.
Aku cuma anak sipandai besi yang kerjapun seperti dikebiri.

Rentetan dunia beralas pekat, awan tertutup gelap tersisa.
Hatiku buta...jiwaku buta...benakku buta...kalbuku terlupa.
Hening terlonjak lirih beku diujung labir bibir.
Tepian waktuku berkarang lubang tak lagi terdendang tentang sendau gurau.
Menjadi lipatan puing yang hitamnya tak mau pergi.
Kematiankah yang terambil atau tetap dengan tundingan menyakitkan hati.
Mungkin sudah tersisip celah aku menangis.

Senja itu bergulir tersimpan himpitan jerumat perih.
Aku lirih terilas cinta...aku lirih terinjak rindu...aku lirih bayangmu tak mau pergi.
Mengapa harus ada tebing-tebing penjulang yang tingginya tak bisa terengkuh.
Jika keluku menjadi siksa, lepaskan saja bila kau mau.
Maka aku sirna hanya menjadi catatan bumi....

~ Asmara Bertajuk Sendu ~

Engkau lingkarkan sebuah lautan bergemuruh.
Ketika langitku berteriak lantang memecah segara, engkau bersembunyi
pada karang yang hampir kandas.
Engkau japitkan pelangi diatas jingganya hati.
Ketika aku mencoba mencari, engkau berlari hilang diantara awan.
Entah terbaring dimana tumpukan wajahmu yang selalu melintas difikiranku.
Aku tertutup ruang yang kelamnya memvonisku.

Engkau warnai jiwaku dengan lantunan redup candamu.
Ketika aku berkata mencinta padamu, engkau tepiskan aku diantara tebing
ujung jiwa yang telungkup sepi.
Engkau sisipkan terang sebuah lentera lampion jepang yang benderang kedalam benakku.
Ketika aku tertepis mencoba ucapkan rindu, engkaupun sirna tertiup angin.
Entah terantuk pada siapa hatimu yang terlihat bening.
Sedang aku diam berkeping menanti sisa hatimu untuk terukir dihariku.

Yach..aku pedih dengan perasaan ini, kudendangkan asmara bertajuk sendu
yang kau lingkarkan disebuah lautan segara.
Yach..aku perih dengan rentetan duri, yang engkau japitkan pelangi diatas jingganya hati.
Aku berdendang asmara bertajuk sendu menebar ilalang serpihan rindu tentang
cinta yang tak berujung dalam keegoanmu.

~ Jejakku Hilang ~

11 September 2013 pukul 13:57


Keruh langit membahana menoreh luka ditepi jiwa.
Wajah-wajah tersadur pelik dusta berkiprah.
Tak ada embun yang bernyanyi riang, menggoda alang dipagi hari.
Munafik terselip dirongga kalbu, kepalsuan mengisi dicelah hati.
Buang saja aku jangan ingat sendiriku disini.
Karena aku hanya rumput menguning yang terinjak alas kaki.
Buat apa harus teringat jika ada tundingan berkarang.
Aku bukan apa-apa tak punya arti untuk tersimpan.

Biarkan kutoreh sepi bersama kelam, teriring perih sudah biasa.
Jangan sisipkan rindu jika tak ada rasa, hanya terkesan aku sudah mati.
Tak ada gelak tawa senja, mengusik waktu itu kembali.
Mungkin hilang diterpas pudaran bumi, ketika sadarmu sudah tak berarti.
Sudah jangan ukir kisah itu lagi, ketika aku pergipun kau tak perduli.
Lupakan siapa aku yang menitip ruang dalam satu mesin.
Aku takkan mengingat karena memoriku telah retak.

Jangan datang menoreh cagar dalam iringan benak.
Dedaun pintu hatiku telah merapat mengunci aksara tentang cinta.
Lupakan..menjauh dari lingkup alar berdesing dihidupku.
Jika tak mampu mengerti, memahami sisa-sisa lentera yang hampir padam.
Kulewati malam bersama debu, tertinggal dalam kota yang sepi.
Tanpa sederet badai atau manusia yang menyimpan kepalsuan.
Dan jejakku sudah hilang....

Menggapai Rindu Diatas Pelangi

16 September 2013 pukul 17:41


Denting irama angin lirih menggetarkan bumi.
Mulai terdengar sayup lantunan nada merdu menyibak hati.
Terpetik harpa langit membangunkan jiwa gersang, dipadang ilalang
terobati sudah dendang sang bhestari.
Mozaik-mozaik indah dengan huruf vokal barisan not tersusun rapi.
Mengemas dalam satu kidung kalbu yang tersimpul.
Ada kedamaian yang tersendiri, menyelinap diam-diam saat sepiku terusik.

Engkau wajah yang bersembunyi, jangan hilang dan pergi lagi.
Engkau wajah yang teduhkan diri, jangan berlari dari kumpulan langit.
Engkau wajah yang tertutup cadar berwarna putih, beri aku seteguk air.
Engkau wajah yang berselimut awan, beri aku keteguhan diri.
Biar aku tak lagi mengumbara pada atap yang berserabut kelam.

Agar perjalananku tak terhimpit unak berduri...
Agar langkahku selalu terang pada illahi...
Untuk menggapai rindu diatas pelangi, dan kubawa pulang dalam taman hati.

~ Serenande Senja ~

16 September 2013 pukul 18:08


Dengan laga sok simple..acuh dan sedikit sok tahu.
Bukan kata atau basa basi tertulis dislogan...'Aku Pesimis'
So what..kalbuku berpapar, ini zaman apa waktu yang terbalik.
Nyengir sedikit sembari senyum-senyum dikaca spion motor.
Wakakaaakaaa..tawa melebar dari labir bibirku.
Ketika aku lihat seorang lelaki setengah tua tengah menjilati es cream.
Kok bisa begitu...ya itu adalah dunia yang berputar salah arah.

Wajar jika anak-anak kecil yang menjilati es cream dipinggir jalan raya.
Lach kok ini malah lelaki setengah tua yang kepalanya hampir tak berambut.
Tengah asyik siul-siul dipinggir jalan raya menjilati es cream.
Dunia..dunia..sedetail inikah kadang terlintas kepekaan orang dewasa yang
berubah jauh 100 % derajat celcius.
Aneh tapi bikin ledakan tawaku hingar..dan upst hampir saja aku menabrak.


Apa kata nenekku seorang pelaut,  priittt..peluit panjang tertiup.
Kapal sudah datang, jangan tiarap atau berdiri saja.
Ayo lari..didepan ada kedai kopi, 'mari bersulang kawan'.
Kemudian motor mengarah pulang kerumah melanjutkan kata atau diam saja.
Inilah kejeniusan bukan dari bawahan atau atasan, atau bahkan dari orang-orang
yang ilmunya mencapai triliun.
Siapa saja dapat merangkai kisah seperti serenande senja ini.

Gang Pojok Bintara Berburu Cinta

Malam kisruh ada risau membelenggu.
Ujung gang jadi sempit tempat nongkrong sembari ngopi.
Moga-moga tak ada hujan karena aku lagi santai.
Dengarin gelak tawa mereka sambil petikan gitar.
Alunan musikpun terlantun, tapi anehnya aku tak suka kopi dangdut.
Tetap saja ikut nyambung..nyambung tak nyambung tetap gabung.

Hingar..ricuh..bising..kalau dengarin lelucon srigala berhati pemalu.
Hahahaaa..tawaku jelutak menahan sakit perut karena humor dari bang iswan.
Asyik..aku bisa lupa sama sedihku, cuma sedikit saja.
Jdarr..dadaku berlubang penuh pertanyaan, 'Ada apa denganmu..cok'
Telingaku tak salah dengar..risi aku dengan kata-katamu 'cok'.
Tak tahu aku sudah punya cinta yang indah.

Kemudian aku berlari pulang kerumah.
Saking aku takut sama icok..tidak dech.
Aku cuma tak berkeinginan diburu sudah seperti seekor cicak.
Gang pojok bintara diburu cinta...aku takut.

_** Doa Diujung Malam **_

18 September 2013 pukul 14:35


Kusibak tirai malam bertudung kelam, ada selaksa hening telujur gelisah.
Hitam menggumpal mencoreng langit tak beralas awan terang.
Tak ada rentetan bintang terkekeh riuh, bersandar pada bulan.
Yang terdengar hanya rintihan pekat menyisik jiwa, ketika risaunya
menjadi serpihan tangis memulas kepingan kalbu.
Kalbu yang mulai remuk redam......

Mungkin batas itu hampir hilang......
Mungkin tempatnya menetap sudah tak beralas randu-randu kecintaan.
Tergelincir entah pada sepi yang mana......
Yang jeruji pekatnya menjerumat dalam hati lirih menyimpan jutaan luka.

Engkau angin yang bersadur merdu ditelinga......
Jangan kaitkan benakku dengan temali kepedihan.
Aku takkan pernah bisa meraih, saat rinduku sirna dalam hamparan
kabut yang berbuih.

Engkau angin yang tak beralas langit terjuntai indah......
Jangan cibirkan gumpalan benci dengan senyuman penuh duri.
Takkan terlihat gurauan canda tertutur diserambi kelam.
Hanya kesunyian beralang kelambu diruang waktu yang berbuih airmata.
Doaku terulas diujung malam disetiap aku mengingatmu.

Gadis Manis Pemilik Nyanyian Cinta

Melodi-melodi rindu berdenting..ting..ting..ting.
Iramanya terkesan indah sepiku menghilang.
Tak berapa lama terdengar nyanyian dari balik ruang
sebelah rumah, lembut..syahdu..hatiku berdegup riang.
Senyum simpul bibirku terulas sembari hempaskan tubuh dipembaringan.
Alamak..merdu nian suaramu gadis berambut ikal keriting kecil-kecil.

Tak sadarkah kau berdendang...dik, kataku dalam hati.
Jika ada seekor cicak mengintip dirimu dipembatas dinding ini.
Sekali lagi saja kau bernyanyi, renyuh hatiku sarat sepiku tak lagi terusik.
Yang ada aku melayang diatas cakrawala menari bersama mimpi.
Terima kasih tuhan..kau kirim aku gadis manis turun kebumi.
Menghancurkan pedihku dengan nyanyian riang.

Dam..dam..duwidu..du..itu yang kudengar.
Resah aku terapung olehmu, disudut dinding berbatu.
Jadi rindu aku semakin ingin rinduku melayang diudara.
Ikuti nyanyianmu yang tersapu semilir angin senja itu.
Jangan lepaskan dari dekatku, karena aku tak mau kehilanganmu.

Terus bernyanyilah sampai aku tertidur.
Agar pedihku tak lagi mengigau dipinggiran kalbu.
Terus berdendanglah dengan irama melantun penuh cinta.
Agar perihku sedikit miris sirna dari sembilu jiwa.
Engkau gadis manis pemilik nyanyian cinta, tolong kabarkan aku
tentang rindu diujung benak.


Serpihan-Serpihan Rindu Diatas Cinta

19 September 2013 pukul 20:59


Menari luka legam terbakar dalam hati.
Coba simpulkan sedikit senyum meski tak berarti.
Diam dengan lempengan waktu tertulis diujung hari.
Menderaku semakin terjatuh tertepis lirih dengan seonggok perih.
Membungkam tepian labir bibirku tak bertanya kataku pedih.
Sentuhan itu tak lagi terpolesi...cintapun terbengkalai.

Tertikam aku dengan kebisuan ketika senja terlonjak lirih.
Coba tertawa dengan riuh hingarnya canda, tetapi sakit terasa menduri.
Mungkin aku bukan orang terpilih yang dapat membawamu pergi.
Pergi dari keramaian tangis yang mengalir bersama airmata ini.
Mungkin aku bukan orang yang berada di dirimu, yang dapat membawamu
kemana kau inginkan itu.

Menari luka legam terbakar dalam hati.
Mengiris pedih ketika kau berpaling dari diri.
Tangispun memecah karang diatas tebing-tebing langit aku terdera.
Ketika aku tak tersimpul dibenakmu..ketika aku bukan cintamu.
Hilang retak jiwaku menjadi kerikil-kerikil tak berarti.
Dan kepingan kalbu menjadi bagian serpihan-serpihan rindu diatas cinta

~ ** Kecintaan_Mu **~

18 September 2013 pukul 18:08


Telah terketuk dedaun pintu hatiku yang telah tertutup.
Menjadi terang oleh kemilau cahaya cinta dikediaman hatiku.
Kau hantarkan sebuah kado terindah yang selalu kurindu.
Ketika ruang jiwaku terkubang penuh himpitan luka membiru.
Kau hantarkan kepadaku dengan merdu doa terarah dalam kalbu.
Aku luluh lantah tak bisa beranjak pergi......

Telah terujar benakku yang dahulu pedih membungkus sendu.
Menjadi terang oleh serpihan sinar terjuntai penuh kecintaan kepadaku.
Kau teteskan aku seteguk air zam-zam, membekukan tiap peredaran luka.
Ketika tangisku menjadi pualam kelam diatas guratan buku tanpa bicara.
Kau hapuskan airmata yang terselip terumpat dalam ruang kelu.
Aku luluh lantah dengan belaian lembut jemari tanganmu yang penuh kecintaan.

Seperti aku tertinggal dalam sebuah telaga pancawarna.
Gendring-gendring rindu membuluh dialiran darah.
Seperti aku tertinggal dalam putaran padang arafah.
Ketika doamu menjadi sandaran setiap langkahku.
Aku luluh lantah menatap wajahmu yang bercadar putih.
Engkau selalu penuh keridhaan ketika aku hampir terjatuh dari kekejian
kesakitan jiwaku.

Kecintaanmu...adalah perjuangan menuntun aku kembali pulang.
Kecintaanmu...adalah ketulusan yang kau sisipkan untukku.
Kecintaanmu...adalah detak nafasku yang selalu terbius oleh
kebesaran hatimu.
Kau adalah cahaya pelita ketika aku tak mampu menahan amarah.
Kau siram aku dengan tembang pujian illahi rabbi.
Kecintaan darimu tak berkesudahan sama seperti secawan kerinduanku kepadamu.

** Peluru Rindu Menembus Cinta **

23 September 2013 pukul 20:56


Sepasang bola mata tajam menatap dari kejauhan.
Lumbung-lumbung jerami kering dipematang siantar.
Waktu untuk pelepas lelah telah memudar.
Serangkai camar melayang terbang pulang sangkar dihutan rerimba.
Laut diam hentak badai tak riuh bergelombang.
Merangkul awan dengan sebentuk kelam, memutar langit menjadi malam.
Renyuhkan jiwa dengan seribu pertanyaan terpendam.

Hening membawa dalam buritan sepenggal canda tak terdengar.
Lirih sendu menalu kalbu mengupas takbir pekatnya hati tersadur.
Arakan sitoli-toli berbunga baiduri harum memikat meracun sukma.
Darahku bersimbah dengan baju terkoyak sebilah bambu menancap jantung.
Hanya airmata jadi telaga persinggahan mengantar jasadku pulang.
Dengan iringan usungan tandu-tandu penuh lubang berbilah luka.

Tangis memekakkan ruang terbata, merenda malam menjadi setangkup pedih.
Membasuh kenangan yang takkan pernah terulang, ketika senyumku tak lagi terlihat.
Cerobong-cerobong asap kereta dermaga pengantar jenazah telah tiba.
Ini diriku yang berlalu pergi...jangan titipkan rintihan mayang berdaun perih.
Rangkaikan secarik kertas lepaskan diudara bebas dengan seikat mawar pembasuh
diriku yang menghilang.

Untuk tidak menjadi penghambat jalan tiap-tiap petak berbatu penuh deru debu
mengisi tanahku tertinggal dalam guratan waktu.
Kusisipkan terakhir kali, jaga benih yang tertanam dalam kandungan hari.
Agar kelak tak menjadi kepingan yang tak berarti.
Biarkan berjalan diantara kanfas tanpa ujung mata pena, ketika ia tersadar nanti
tak menjadi sebuah penyesalan panjang.
Dan berakhirlah sudah saat peluru rindu itu menembus cinta.

Sang Waktu Yang Terindah

8 September 2013 pukul 17:26


Ada aroma khas tercium dari sela-sela hidungku.
Harum membuat tubuhku terhempas melayang dalam udara.
Pertama kali kau ada dan terakhir kau tak pernah kembali.
Aku memaki..marah..benci..sedih..menangis sampai bertahun-tahunpun 
sekalipun akan tetap sama seperti ini.
Perih..yach, kuakui itu karena kau pergi tiba-tiba dengan meninggalkan
kenangan yang tak bisa terhapus dalam ingatanku.

Cinta..tak kan sama sepertimu yang dengan sabar menghapus saat aku
lelah..peluh..dengan keringat tubuh seharian penuh mencari sesuap nasi.
Aku disini serasa tertinggal dalam pengapnya jutaan kutu berhawa nafsu.
Dibubuhi dengan kontraminasi..berefek munafik..dengan tirai-tirai dusta dan kepalsuan.
Menyebalkan jika aku harus jatuh dalam cinta yang tak dikehendaki.
Cibirkan hina dibelakang diri, mengumpat makian dibelakang hari...muak aku.
Senyum-senyum itu tak sepenuhnya ikhlas.

Banyak tereka dalam himpitan dunia kumuh ini.
Tetapi satu keindahan yang tercipta hanya bersama kamu saja.
Kamu yang pergi untuk selamanya..kamu yang memberiku arti tentang semua ini.
Bersamamu dan sang waktu yang terindah...terima kasih cinta.

Sekuntum Kerinduan

Senyum indahmu memias ditepian hatiku yang sendu.
Tawa candamu memikat mewarnai kelamnya sudut jiwaku.
Memercikan harumnya kehangatan bias-bias cintapun tersadur.
Kutimang waktu yang hilang dengan sebuah lentera memburu.
Yang tergambar polesan bentuk wajah milikmu.
Redamkan tangisku ketika aku tak mampu berlabuh.
Mencari sebuah kelopak ruang dibagian dirimu.

Padamu sekuntum kerinduan..tepiskan aku dari pembuluh kecubung maksiat.
Padamu sekuntum kerinduan..singkirkan aku dari retaknya kepalsuan.
Yang mengikat kalbuku menjadi muntahan semak berduri.
Yang menyelisik benakku menjadi pasukan iblis.
Beri aku sebuah telaga kasih yang tersirap untukku dahaga nanti.
Meski hari tak lagi terang kau tetap nirwarna tempatku merangkai cinta.

Celetuk manja..nyanyian hati parau serak suaramu merdu terdengar.
Damaikan selaksa langit jiwaku yang terhampar kelam.
Aku kelu menatap bumi tak bisa berkutik ketika kau rengkuh aku dalam impian.
Sekuntum kerinduan...jangan pejamkan mataku untuk saat itu.
Biarkan seruling gembala mencuat..lantunkan asa cinta tentang kekasih yang tertinggal.
Saat rangkaian itu tersulam kuberikan untukmu dengan pengharapan.
Nantikan aku digerbang surga menuai sekuntum kerinduanmu dariku pengembara cinta

Diatas Bumi

24 September 2013 pukul 15:40


Jangan pernah sesalkan ketika cinta membuatmu terluka.
Mungkin hatiku hanya catatan yang tak bertepi diujung pena.
Tanpa tulisan dan ukiran kata yang tersisip penuh makna.
Aku memilih untuk tetap melangkah dalam alam tanpa nirvana.
Buku jiwaku telah usang saat berkali sudah rinduku seperti kumpulan sampah.
Kau..aku..dia..dan ia bergumul dalam keruhnya asmara.

Diatas bumi bisa kurasakan sepi itu tergantung erat.
Menyelusup dalam benak menghantarku pada lelap.
Tapi bayangmu yang datar itu selalu mengoyak.
Membuat serpihan-serpihan berwarna pekat, memikat aku dalam kelam.
Rentan mungkin aku mulai lelah mengeja tiap waktu mengupas kalimah...
aku sebagai jembatan tempatmu menyebrang.

Diatas bumi aku terjatuh dalam peluh yang menitik keringat perih.
Menangis membuat gelembung-gelembung jelangga airmata pedih.
Mungkin aku cuma kau anggap tempat persinggahan saja.
Tak ada arti atau makna yang tertulis dalam sisi ruang dirimu.
Achh..sudahlah biar kulewati jalan ini, jalan setapak diatas bumi.

Sebuah Cinta Teruntuk Rindu_By:Telaga Sastra Cinta

Rerindu diujung sana...
Coba dengar isyaratku.
Tidak ada dosa tentang cinta.
Bukan cinta yang tersalahkan.
Tetapi mereka yang mempermainkan indahnya cinta.
Mereka membuat simpul-simpul nikmat diatas bejadnya
akhlak dan cintapun terhujati.

Rerindu diperbatasan hati...
Coba dengar celetuk jiwaku.
Jika cinta adalah anugrah pemberian nikmat dari illahi.
Bukan cinta yang harus tertendang didataran bumi ini.
Tetapi mereka yang membenahi cinta diatas maksiatnya.
Cinta tidak bersalah...rindu, kataku kepadamu.
Yang pendosa mereka..yang membuat petak-petak bergumulan
lusuh diatas sebilah tikar bermeseum.

Rerindu disebrang sana...
Coba lihat wajah keruhku yang terdapat kerut lusuh.
Pandang dan tujilah aku yang membawa cinta dalam hatiku.
Bukan..bukan cinta yang penuh dosa berlumpur.
Mereka dan mereka yang memperbudak cinta demi kenistaannya.
Cinta adalah anugrah yang ternikmat dalam hati.
Jangan buang cinta itu, jangan hardik cinta itu.

Minggu, 02 Februari 2014

~** Puisi Cinta Buat Rindu 2 **~

24 September 2013 pukul 16:41 
 
 
Dengan sebilah ujung mata pena dan secarik helai kertas putih berwarna semu.
Tanganku takkan pernah lelah mengurat coretan jiwa yang kulayangkan kecakrawala.
Kata tak mungkin terangkai indah karena aku bukanlah seorang penyair.
Aku hanyalah seorang musafir mencari tempat rimbaku untuk kulepaskan
segala kusamnya letih.
Kawanku hanya sepi yang terulas tergambar ditepian hati yang menunggu cinta
itu sudi kembali.
Menggenggam jemari tanganku untuk kubawa pulang dalam dekapan rindu ini.

Cinta...engkau yang terjatuh pada keglamouran dunia.
Lihat mata ini tajam menanti dengan resah yang tergeluti perih.
Cinta...engkau yang berpaling pada ilalang berduri diatas permukaan bumi.
Lihat kalbu ini mengerang pedih dengan tarikan nafas aku tersakiti.
Cinta...coba telaah dirimu, masihkah terbenam sebuah iringan kasih yang pernah kau beri
untukku yang sepi melantun sendiri.

Jika airmata ini takkan pernah tersudahi sama basahnya dengan tetes embun dipagi hari.
Catatan berdaki penuh debu tercaci, luruh dengan setumpuk rupamu dewi.
Anugerah itu kulewati bersamamu sampai senyumku tak terlihat lagi.
Kutuang aksara tanpa watas yang berakhir dengan gumpalan tangisan hati.
Ini kusematkan untukmu ketika aku tak lagi berpijak di istana bumi.
Sebuah puisi rindu buatmu cinta...

~**Kabut Asmara**~

24 September 2013 pukul 17:58


Napak tilas serumpun ilalang bergoyang tertiup hembusan semilir angin.
Mendung awan terarak langit menutup cerah nampak gelap terukir.
Perang hati badhar berkait, enggan menyapa pagi dari balik mentari.
Lukisan pelangi tersaput gerimis hujan, basah tanah membuncrat bumi.
Selaksa ada yang tertinggal sekisah deretan kelam berterumbu hitam.
Daunnya menari riang akarnya patah terinjak pejalan kaki.
Menumpuk benih dalam maksiat terjejali.

Kuncup kelopak sibunga seroja, berpayung cinta berkilah alang-alang luka.
Mendendangkan tentang kisaran dunia, hendak kepakan sayap-sayap dalam kerinduan.
Catatan terbungkam torehan pesakit lara terkembang, membuang tulisan merangkul mayang.
Matapun tak dapat terpejam, sedikit tangis terisak lelumpitan hati.
Ketika genangan dosa melumuri sekujur tubuh terbaring beku mati tanpa akal.
Disini tempat jerami tergurat, tak mau mengingat wajah sang syetan.
Yang membisikan seruling kematian....

Lentera menyala lemah kemudian padam, tak ada api membakar obor.
Simpang jalan banyak lubang berkerikil batu merah delima.
Ranum tersungging manis tercibir ditepi pinggiran sibibir pantai.
Jari jemari lekukan laut bergelombang dahsyat menyentuh karang.
Rona-rona jingga tersandung asmara pulau dewata.
Bergerak lincah tetapi busuk tersumbat menjadi cadas hitam terbujur kaku.
Membiru membuat petak dalam rongga ruang jiwa..kabut asmara menjadi prahara.

~** Diary Puisi Cinta Buat Rindu 1**~

Mengingat kanfas lukisan kertas bersama sebilah ujung mata pena.
Ketika helai lembarannya terkunci rapat semua takkan menjadi narasi alur cerita.
Terbengkalai saat telujur-telujur cerbong jiwa hancur dipembatas simpul halamannya.
Sebagaian terkoyak rata termakan oleh usangnya waktu yang berujar.
Apa yang terberi...apa yang terbagi...dan apa yang tersudahi, cuma diam yang kudapati.
Jatuh pada tiang-tiang penyangga kemudian dentuman hujat mencari sisi lubang hati.
Astaqfirullah aladhiem...kata dalam benakku sembari mengelus dada.
Dan aku berdiri tetap tegar walau terkikis oleh cabikan-cabikan milenium zaman.

Hanya hirupan segar embun serta angin yang berhembus tercium harum dirongga hidung.
Napak tilas tapak-tapak jejak telanjang kaki menghempas tiap peredaran racun pembuluh
dihamparan negri bumiku.
Engkau tanah yang berkecimpung longsor oleh derunya kepalan tinju para serdadu-serdadu
penjilat rakyat.
Engkau tanah yang lok ji nawe terkapar diantara kumpulan bui-bui para dektaktor.
Harum pertiwi retak tergenang basah tetesan darah membuncrat dalam penggalan hari.

Aku nanar diam merapat dalam satu tebing dimana hanya ada rerumputan bercermin ditepi sungai.
Mataku luruh condong menatap segumpalan awan mengumpat pada langit yang berakal.
Kemudian gerak jari jemariku mulai melekukan barisan kata yang kasat tanpa terlihat.
Dengan rindu menanti diujung pulau-pulau yang karam, kulepaskan segala pedih ketika aku tak
bisa kembali dalam ruang dimensi ini.
Hanya rindu yang tersekat diantara dinding-dinding berbidak, kutambatkan kecintaan pada sejumput
teriknya pagi yang menghibau.
Tempat aku berpulang kembali dalam pelukan sang illahi rabbi.

Detail...singkat guratan itu lambat-lambat menghilang tertutup pudaran waktu.
Kemudian aku melangkah entah kaki ini mengarus dan singgah dikota yang mana.
Hanya terdengar heningnya malam berserenande gelak tawa kepekatan.
Bersulang lelah rebah pejamkan mata dipembaringan terumbu-terumbu akar jerami ilalang.
Menanti saat pagi itu kembali terulang.

Teropng Dimensi

Kerajaan...ini bukan masalah kerajaan atau tahta.
Ini bukan negara astina dengan ribuan rakyat syailendra.
Apa yang terfikir dalam nipotisme atau hepotisme.
Kajiaan..era globalisasi..kependudukan..atau ratusan bala tentara.
Hei..kau yang memiliki segudang harta dan kedudukan sebagai petinggi.                                                  Dengar celetuk para yang terilas dan terinjak oleh ketidak adilan.
Apa pernah dengan tulus serta ikhlas kau mendermakan sebagaian harta.
Nounsend..kata itu cuma trik terbalik.

Tawaku nyinyir..senyumku perih dengan mengelus dada sembari melangkah memanjat
anak-anak tangga gudang penuh setangkup pertanyaan lirih.
Coba jika aku mempunyai sebuah mesiu atau sebuah anak panah atau juga sebuah teropong.
Sudah kubidik..kupicu..kutembak..kuberi racun-racun yang sama pula.
Biar tahu dunia ini..jika tempatnya tak bersih, biar tahu bumi ini..jika tanahnya banyak
pengedap-pengedap terisolasi.
Achh..makalah seperti bom yang meledak dikepalaku.
Buat ini..buat itu..kepada ini..kepada itu..ratusan tangan-tangan karya tetap sama.
Sakit jiwa...atau pesakit hati.

Medium oposisi..jadikan bingkai negeriku wabah terusik pekat.
Tak ada yang keruh..tak ada yang jernih..tak ada yang bersih.
Tetap sama terpampang dengan kail-kali mata pancing buruan.
Terjerat..dan dijerat, aku semakin tertunduk coba melafal kata yang belum pasti.
Atau kataku menjadi granat dan terbui sebagai mafia antagonis.
Teropong dimensi kupersembahkan pada hati yang terdiam menatap gumpalan hitam
mendarat dinegeriku.

"Jejak Napak Tilas Wajahmu Ibu"

26 Desember 2013 pukul 1:32
Disini aku nanar tanpa ada yang mengetahui.
Ketika kuingat bayang-bayang masa lalu itu.
Tanganmu..bu, yang selalu ingin kunikmati.
Ketika aku tak mampu menumpahkan kepedihan ini.
Ketika harus kau ingatkan aku, sebab aku takkan mampu menatap.
Jika yang terlihat pergolakan yang kerap tersembunyikan.
Aku menangis bu..pada luka yang menempel ditubuhku.
Kenapa kau..bu, yang tertidur tanpa terbangun dipagiku.
Aku menangis bu..pada kesakitan yang menempel dibenakku.

Tangan-tangan kasihmu yang selalu terindui.
Sama seperti rerindu sakura dimusim salju.
Aku tak mampu menempiskan jika ragum sosokmu telak
membuatku menangis.
Bu..lihat aku yang masih belum dapat menghapus airmataku sendiri.
Bu..cuma ibu yang selalu mengingatkan untuk tidak meludahi bumi.
Bu..hanya ibu yang kerap kali menghapus airmataku.
Ketika aku terbui didekap erangan pedih..

Bu, lihat anak-anakmu yang berkelakar canda tanpamu.
Tanpa senyumanmu..tanpa belaian kasih sayangmu..tanpa nasihat
yang merambati ketika usia semakin membuai dunia.
Apakah ada yang mampu memapahmu ketika kau sakit..bu.
Aku..yach aku, yang selalu terjaga agar kau baik-baik saja.
Tapi tuhan berkata lain..kau pejamkan matamu dengan khiasan senyum
terkikis iris dihatiku.
Kau pergi setelah kubasuh kedua kakimu dan kuminumkan air telapak kakimu.
Aku tahu..bu, tuhan akan menjumputmu, aku tahu..bu.

Ternyata bertengger didekatku yang mengingat tentangmu..bu.
Sakit hatiku..aku yang tak mampu menjagamu bu.
Harusnya tuhan yang merenggutku sejak aku belum kau lahirkan.
Yaa rabb..pertikungan jalanku terbisu tanpa mengucapkan sebuah kata.
Kenapa kau yang selalu menundukan angkuhku.
Dan rekamu kau tangkap, kau sudutkan aku dengan kerinduan itu.
Kau membuatku tersimpuh, kau kenapa harus kau yang diammu mengetahui.
Kau tahu itu letak lemahku..dengan jejak napak tilas wajah ibu.

Sebuah Relung Diketinggian

Sebuah Relung Diketinggian

29 Desember 2013 pukul 3:10
Entah harus bermula darimana...
Jika semua diamku tersela tanpa kau sadari.
Aku diam disudut kempulan lelah yang menjelimat.
Tumpukan kering tulang belulang tubuhku hampir
setengah mati.
Kau picu diamku dengan egomu, tak apa dan tak mengapa.
Sudah seharusnya semua menampar diwajahku.
Meludahi dan merapatkan caci terarah untuk seorang anak yang mendoakan
ayahnya tak bernyawa lagi.

Bukan ini bukan cerita atau paparan kosong biasa.
Disinilah kumulai untuk membuka tabir hidupku, agar tak menjadi buruan lapar.
Yach...Rda.savitri Jumati Ningrum itulah aku, tanpa mau hidupku dipenuhi keterpaksaan.
Menjauh dan meninggalkan sebuah gubuk riuh dengan senandung nyanyian ibu.
Jelata kotor dipinngir jalan dengan gitar dan seperangkat alat semir sepatu.
Untuk mencukupi bidak-bidak laparnya perut serta ganasnya tenggorokan.
Dan tidak meminta belas kasih orangtuaku, aku lulus dari pertingkaian hidup dibangku sekolah.
Aku tahu hidup ini tak pernah adil, mau dibilang apapun dunia itu kejam.
Jika tak pandai untuk membawa diri dan kebenaran.

Rhyoko Sajura yang memberiku tempat, sebuah tempat terpenuhi kasih.
Persetan orang mau bilang apa, aku tak pernah meminta pada orang.
Kutinju kerasnya bumi, sampai tulisan itu berbuah..tapi sang penjilat tak mau terbuku.
Tiga tahun mendekam dalam teralis besi...kusembunyikan identitas untuk tidak seorangpun
mengenal siapakah aku.
Tujuh bersaudara..aku lah seorang anak penentang, menentang tiap kehendak ayah.
Dan ibu yang selalu kubanggakan..sampai kubenci pada lelaki karena satu hal.
Seorang sahabatku dimasa kanak-kanak Sdn.Babakan Ciparay, harus terejang kehausan
para lelaki bejad.
Dan sebelum masuk rumah sakit Husada bandung, nyawanya terenggut eronis.

Aku..aku hanya diam menatap perlakuan itu.
Tak bisa membela sahabatku sendiri, beralih aku pndah kejakarta menetap dicipinang muara.
Sekolah dasarku terbengkalai selalu berpindah-pindah tanpa mengeyam nikmat sedikitpun.
Lebih pedih ketika terkapar dihadapanku sebuah truk menerabas tubuh Rhyoko..dikota tua.
Aku menjauh dan semakin jauh dari semua sampai ayah menempatkan aku disebuah rumah saudaraku, tapi bukan kedamaian yang kudapatkan.
Aku seperti budak yang terlihat ditiap kerumunan pasar..inikah saudara, achh persetan.
Benciku semakin dalam..tak bekeinginan tinggal dalam hangatnya kasih sayang mama.
Terludahi..termaki..tercaci..tertampar..pernah kurasakan, sakitnya melebihi pedang yang terhunus.
Dunia hitam kubawa sebagai pengedar narkotika.

Pondok bambu tempat terakhirku...
Kutemukan kedamaian jika tuhan itu memenuhi ruang hatiku yang kandas.
Sampai kini kulenyapkan masa itu yang menyakitkan, tapi salahkah jika cinta terlarang
dianggap bejad
Tidak..kataku, lebih bejad jika seseorang memilih putih terlebih dahulu.
Sebelum ia tahu bahwa putih ditumbuhi hitam mendalam, baunya lebih pengar.
Aku diam untuk diam dan selalu diam jika terjerumat kata rindu.
Rindu  itu yang memberiku acuan untuk kusabarkan hatiku, tapi manusia mengapa
tak punya naluri.
Sesalahku menjadi sebuah bangkai selalu aku yang terhempas mutlak.

Kau yang kutemui dalam bias-bias pedihku...
Kuharap satu darimu sebelum nafasku terhenti sampai disini.
Kembali dan tempatkan ia kekasihmu yang lebih dulu memasuki ruang hatimu.
Yang menata hari serta waktunya untuk bersamamu.
Jangan menatapku yang setengah terkulai dengan menahan sesak dibagian tubuhku.
Ini diamku selama ini..kau salah jika kau mengganggapku haruss menjauh.
Aku menjauh karena aku bukanlah tempatmu..
Sampai batas waktupun ketika aku harus benar-benar hilang, didetakku telah tercatat namamu
Ayunda Vitaghia Dewi.

~~"Dikediaman-Ku"~~

31 Desember 2013 pukul 3:03
By: Janiarti Laksmi

Dikediaman...
Kandas sebagai kaca serpihan.
Meruntas sepi padat dengan luka.
Teriakan angkara memekakan telinga.
Meforsil sudut taring perigi lantahnya.
Kecam malam tak berurat bijak.

Dikediaman...
Arti diserobot tipuan.
Tak teranggapi menjauh atau permainan saja.
Seperti sebatang rokok lelakimu berucap kasar.
Tak berakal berotak dikepalanya hanya tanduk bercula.
Cintanya penuh kekasaran tumbal keadaban.
Dikediaman..tanpa kau hanya tertawai
kekasih dalam fatamorganamu.

Diam aku diam...
Ada tamparan bekas luka.
Luka diluka terelung dalam bingkisan
yang pekat.
Lelakimu mengecam sebilah hitam.
Aku masih menyadarkan..siapa aku
didetakmu yang melenyap.

Dikediamanku...
Jangan hantarkan rindu itu.
Hanya membuat berkas-berkas
luka menyesak.
Usah bertanya kemana kabarku musnah.
Harusnya tak ada detak diantara aku, dia dan kau.

~"Putaran Jingga~"


Mataku berkeluk menatap ruang yang terpampang penuh jeruji.
Tembok dinding berwarna putih kusam lusuh termakan hari.
Senja terusir, malam membungkukkan kelam, pagi tak bersenandung lagi.
Tergencit diantara benteng-benteng spion...skak kau bilang langkah terhenti.
Achh..mana sinarku, mana..aku tak melihatnya dari balik bilik pengendap jentik.
Lubang celahnya terlalu kecil, mataku tak dapat menilik karena aku buta hati.
Buta akan tautan indah tentang alur yang bercerita nista.

Tapi aku tetap menahan waktu sedikit gencatan untuk berdiri.
Agar penopangku tak rapuh termakan ribuan kutu-kutu busuk dibuku kematian.
Daftar nama terpampang dengan garang menahan lapar.
Terkoyak ditepian hancur terkulai diatas peti, karena rompang jadi tergoyang.
Yach..dunia tertawa mencibir kita yang terlupa.

Aku tercabik..dengan kelakar belukar pedih.
Menanti diujung perbatasan sisa-sisa kebenaran itu terlewati.
Menunggu hari tempatku berteduh dikaki langit.
Bersamamu putara jingga aku rebah dibawah naungan cinta.

Nyanyian Karang Putri Duyung

 By: Telaga Sastra Cinta
29 September 2013 pukul 21:51

Nadir-nadir menitik jelas menjelang senja.
Kemuning rerumput malam menari tertiup angin.
Mendayu irama gangga diatas ombak bergemuruh senyum.
Tawa-tawa riang tergelak, camar hilang merunduk awan.
Syahdu denting suara senyapkan hati yang tergulir lirih.
Perbukitan sepi ketika malam terlonjak kelam.
Kibasannya meliuk ditulang sum-sum.

Tubuh molek harum memikat dengan ranum labir bibir tersungging indah.
Hangat terasa kecupan malam melayang aku diatas lautan.
Hantarkan takjubku yang tak terbilang pada putri karang yang berdendang.
Sentuhan iramamu hentikan detak setiap pembuluh jantungku.
Tatap mataku enggan berkelik dari putaran bumi.
Kau menari diatas fikiranku yang terkekang puluhan kesakitan jiwa.
Kau nyanyikan aku dengan lantangnya gemercik ombak diderumu.

Nadir iramamu menghipnotis diriku yang rebah oleh nista.
Aku terperanjat ketika kau sentuh wajahku kemudian kau berkata..''bernyanyilah bersamaku''.
Aku bermimpikah atau tidak bermimpikah, ini seperti kepingan igauan melewati jalan-jalan
bebatuan yang terhimpit gelap.
Kidung indah yang pernah kudengar ketika aku merenda cabikan luka.
Kau datang dengan nyanyian karang putri duyung.

Puluhan Malam Asuhan Sang Rembulan


Titiran hari terus telanjangi waktu menghentikan pudaran semu.
Sebentuk cagar berlari hilangkan tangis sisipkan pekat kedalam airmata.
Bola-bola dunia bergelembung membumbung hingga jatuhpun diketiak bumi.
Rajutan kelam bersinambung mengikuti arah mata angin yang tak bertepi.
Hulu tebing karam menimba sumur terjungkal diterumbu dosa.
Cucuran keringat hitam mengental penuh nista menetes dari balik wajah.
Wajah samar keruh penuh debu dan kotoran sampah.
Tak lekang tubuh gontai menjajaki jalan setapak dalam serambutnya hutan belantara.
Mencari terang tersesat rimba diri tak dapat berpulang.

Inikah juntaian malamku yang beralas krontang ditepi danau telaga warna.
Fana melingkar dengan ujung lurik sepasang bola mata lantang menatap buana.
Achh...hanya terangkai kelipan atap tanpa celah, saat cerobongnya tertutup kepingan luka.
Menganga kemudian berlubang menjadi duri penuh amarahsuli.
Tak khayal bila serumpit bernyanyi dendangkan lagu irama pedih, aku atau kau yang tersudut
jeruji sepinya kisi-kisi terlali besi pencagak dunia.
Jangan..jangan kau hembuskan ribuan tangis jika itu kau basuh dusta.
Menjauhlah dari serpihan-serpihan lukisan yang tergambar hitam dari jemari tanganku.
Karena aku bukan kepundak yang dapat kau lenakan dengan tipuan.

Atap langitku berdecik teriris lirih ketika kau pergi dengan kepalsuan.
Diam hening merambah aku yang tertatih diantara duka mengoyak hati.
Engkau tanamkan aku seperangkat kesakitan, engkau torehkan rinduku dengan makian.
Menangis aku tak mampu hanya terulas senyumku yang bersimpuh.
Mungkin benakku telah mati ketika kulewati bintang-bintang, kujejaki semburat awan, kunaungkan
rinduku yang terbui, kudaki tiap tebing berliku untuk menggapai sejuta maknamu.
Sampai saat ini aku tak bergeming bersama puluhan malam asuhan sang rembulan.
Terlempar entah pada alam yang mana...aku diam.
 

Tarian Jenggala


Tidak akan henti sampai langit ini berterumbu karang.
Yang memuntahkan lelehan lahar amarah dan keserakahan.
Tidak akan surut sampai duniapun memecah waktunya.
Yang meluapkan bahtilnya hati dan kesombongan mengarungi benak.
Terus meliuk mencari sisa-sisa celah lubang untuk berfragmen.
Satu peran antagonis dimainkan kental dengan gerak latar yang memikat.
Balutannya termahsyur memakai busana ratus bahkan puluhan juta.
Sungguh luar biasa dan benar-benar luar biasa, tapi semua kembali pada asalnya.
Tergeletak tanpa bicara omong besar dan tanpa berkata 'Derajatku lebih tinggi..
ketimbang kalian orang-orang rendahan'.

Brak..dash..swiping jumping mobil mewah masuk jurang.
Fatal dengan cendera luka dibagian mata, kaki dan rahang leher..' lumpuhkah' kataku.
Mungkin itulah yang harus dikembalikan, kita kembali menelaah setiap perkataan.
Tak lagi terdengar lolongan anjing dimalam hari bersama suara nyanyian celepuk diatas
dahan beringin, yang tak berkesan dengan kekelaman.
Semua balutan kemewahan itu mulai luntur satu persatu..dan habislah untuk sebuah penebusan
suatu cerobong tajamnya lidah serta ucapan sang antagonis.
Kenapa..engkau harus seperti mayat terbungkus, kataku.  Jawabnya, ini sebuah kesalahan
yang fatal dan tak akan ada orang memaafkan perbuatanku.
Kembaliku menjawab, semua salah dan kekhilafan setiap manusia itu selalu ada...sahabat.
Jika kita kembali pada jalan keridhaan Allah S.W.T.

Diam..hening tak berkabar angin, tersingkir dari kobaran api yang hampir diusung.
Sepi..senyap tak ada riuh tepukan penggoda nafsu, musiknya terlempar dari telinga.
Tarian jenggala perlahan tertidur, menutup sampiran kisahnya menjadi seorang gadis
berkerudung senja dengan senyum keramahan.
Anugrah terindah telah mengembalikan dirimu seperti sediakala, tanpa peran..tanpa harta..
dan keangkuhan serta kesombongan yang kau peroleh sekarang ini.
Senyumku pias..aku berjalan luruh ternyata belum tentu hatiku dipenuhi keridhaan Allah.

"Selembar Puisi Secangkir Kopi"

By: Telaga Sastra Cinta

Diatas meja ada tinta ujung mata pena.
Helaian carikan selembar kertas pelengkapku.
Dengan secangkir kopi penghangat tubuh.
Untuk menempatkan kata dari rangkuman hati.
Tanpa aku tahu waktu itu terus berputar.

Kuletakan secara tak beraturan.
Tanpa seember majas berceletuk panjang.
Tanpa segudang kata noktaf bercoleteh.
Dan tanpa irama diftong melagum.
Aksaraku lepas tak ada ikatan.
Memintal dikelipatan..

Menguntai dirangkum hatiku.
Dengan nalar yang terjalar dari jiwa.
Puisiku tercecar mati dalam kata.
Kelu dialur uliran barisan spasi.
Dijetrakpun terasa kaku dan tak teramati.
Hanya memakai diam dan sepi.

Tak ada bait-bait kental.
Tak ada lapisan lukisan bersanur indah.
Tak ada paparan bernarasi membuat pola.
Tak ada syair memikat untuk terbaca.
Dengan lepas angin berbisik lembut.
Kukenali inilah ragumku tanpa sebumbung tanda kutif.

Selembar puisi dengan secangkir kopi.
Tertumpah ruah tentang kalbu yang tercemeti rasa.
Terhela desahku saja.
Ditengah sepi melena kelam..
Aku rindu sosokmu wajah kekasihku.

"Desahan Tubuh Tarian Iblis"

By: Telaga Sastra Cinta


Sepiring hidangan dimeja persembahan..
Secawan arak terteguk sudah..
Sinis mata liar teladahi tiap ruang..
Nyanyian neraka teralun digendang telinga..
Terkikih ringkih tawa melebar..
Tanggalkan tubuh_tubuh dipelataran..
Buas menantang tanpa terfikir akalku meradang..

Dihingar lampu remang_remang..
Terbayar tubuh_tubuh dipemuas nafsu..
Seorang penari ular meringis cingis..
Meraba taba jemari tangan dipelipis wajahku..
Kerlipkan sebelah mata mengecup cumbu mendarat tepat dilabir bibirku..
Geliat iblis tergigil aku buta tentang nalar terjalar..

Kamar penyamun sudutnya mati warna..
Bekukan siapa aku tiada yang tahu..
Otakku remuk terilas sentuhan keji ditanah negri..
Diatas lingkaran hitam aku kembali terkujur..
Sesat menambat aku tergerak memaku waktu, kuanggap bejad..
Desahan tubuh tarian iblis..
Coberan kumuh kuteguk dikerongkongan tenggorokan ini..
Tumpahkan darah para dedara..
Telah terpuas kubungkus dengan kafan..
Akulah bejad menyepak pedih diatas luka dan kesakitan jiwa..
Tertawalah engkau..

~"Kupu-kupu Liar Dan Bunga Hitam"~

 By: Telaga Sastra Cinta


Malam tadi terbang melayang seekor kupu-kupu liar.
Menari terus menempel disekuntum bunga hitam.
Bunga hitam tumbuh diatas pelataran makam.
Berbau dengan keanyiran.
Ketika gerimis hujan bunga hitam tak dapat berteduh.
Diatas pelataran makan tanahnya becek tubuh tangkainya kotor.

Malamnya hingar penuh teriakan.
Paginya hilang dibekap bisu.
Senjanya sirna mengelupas tangisan. Kupu-kupu liar warnamu indah.
Menyuruput puntik madu yang mengering.
Ditangkaiku kau bisikan resah.
Gelisah wajahmu diilalang rumput pelataran makan telahku tangkap.
Kupu-kupu liar menangis.
Ketika bunga hitam mengering mati terilas hari.

Tintamu tak mampu terapung.
Jemari tanganmu lunglai tak mampu merengkuh.
Sesalmu menghujat kau biarkan bunga hitam terserak dan tercecar.
Bunga hitam nanar tercembung rindu dipelataran makan berbau amis berselimut anyir.

Kupu-kupu liar singgahmu diam merangkak pilu.
Kau titipkan rasa ditelapak akar tangkaiku.
Tapi kau acuhkan dibingkai kebasian.
Menangispun tiada guna.
Kupu-kupu liarku terkulum rindu.
~" Pinta_Ku"~
By: Telaga Sastra Cinta


Pintaku bukan pada tuhan...
Tapi pada keterdiam hatimu dan hatiku.
Dengarlah meski kau muak menatapku..rindu.
Jangan buat airmataku menetes tanpa sebab.
Semarah apapun aku tak bisa kujauhkan rasa ini.
Sesak terlarang yang tersela..kau dengar rindu.
Kau dengar itu..yach, kau kan mendengarnya.
Ini untukmu..rindu.

Sesuatu perih dihatiku.
Jika doaku selalu tertuju untukmu.
Renyuh ketika hempasan cemburu tak
bisa kusingkirkan.
Salahkah..salahkah jika kubenar
menyayangimu.
Kenapa tak kau tutup
saja singgahku.

Pedih menyintaimu..
Pedih jika diamku salah.
Rindu..sekali pinta ini untukmu.
Tersenyumlah..
_"Rangkuman Hati"_
By: Telaga Sastra Cinta
                              



Pagi dirangkummu aku meminta..                             
Memintamu untuk selalu disisiku.
Pagi dihatimu aku diam...
Diam untuk menatap relungmu
dari kejauhan.
Meski jarak pandang ini berjauhan.

Pagi didetak rindu aku rebah...
Rebah dengan cinta yang nikmat.
Menilik sembunyi ketika kau hilang.
Meski kutahu hatimu mengeluh.
Mengeluh resah tentang aku disini.

Pagi terpenuhi intan baiduri...
Menyimpuh teduh dirangkum hatimu.
Hati terikhlas tertatap dari pandang matamu.
Rindu..yach, aku cinta rindu kepadamu..rindu.
                         ~Mengeja Hujan Di January~


Mengeja Hujan Januari Seumpama Duka
Januari merintih sederas hujannya
Saat mentaripun tak kuasa tersenyum
Aku mengejanya serupa duka
Saat rinai hujan coba hapuskan jejak-jejak debu
Aku mengeja hujan januari serupa nestapa
Ia panjang dan nyaris tanpa jeda
Ia merintih seumpama orang tua yang papa
Ia sendiri tanpa anak yang entah kemana
Hujan januari tetaplah luka
Menghitam laksana senja januari dibalut awan
Memarnya membekas dalam sayatan deras rintiknya
Hujan Januari seumpama pertanda
Bahwa esok tak lagi ada
Seperti malam yang basah oleh rinainya
Ia seakan bisikkan kata;
Nestapamu, Kawan!
Hujan Januari lengkapi derita
Saat anak-anak tak lagi bisa lanjutkan tawa
Saat orang tua tak lagi mau bicara
Semua diam dalam luka
Mengeja HUjan Januari seakan membaca Prosa Panjang tanpa kata-kata
Ia muram
Ia terdiam
Saat Januari habiskan semuanya;
Tawa riang anak-anak yang tak lagi tersisa
Senyum orang tua yang tak lagi punya makna
Ia hampa
Ia resah dalam hujan tanpa jeda.