Minggu, 02 Februari 2014

Sebuah Relung Diketinggian

Sebuah Relung Diketinggian

29 Desember 2013 pukul 3:10
Entah harus bermula darimana...
Jika semua diamku tersela tanpa kau sadari.
Aku diam disudut kempulan lelah yang menjelimat.
Tumpukan kering tulang belulang tubuhku hampir
setengah mati.
Kau picu diamku dengan egomu, tak apa dan tak mengapa.
Sudah seharusnya semua menampar diwajahku.
Meludahi dan merapatkan caci terarah untuk seorang anak yang mendoakan
ayahnya tak bernyawa lagi.

Bukan ini bukan cerita atau paparan kosong biasa.
Disinilah kumulai untuk membuka tabir hidupku, agar tak menjadi buruan lapar.
Yach...Rda.savitri Jumati Ningrum itulah aku, tanpa mau hidupku dipenuhi keterpaksaan.
Menjauh dan meninggalkan sebuah gubuk riuh dengan senandung nyanyian ibu.
Jelata kotor dipinngir jalan dengan gitar dan seperangkat alat semir sepatu.
Untuk mencukupi bidak-bidak laparnya perut serta ganasnya tenggorokan.
Dan tidak meminta belas kasih orangtuaku, aku lulus dari pertingkaian hidup dibangku sekolah.
Aku tahu hidup ini tak pernah adil, mau dibilang apapun dunia itu kejam.
Jika tak pandai untuk membawa diri dan kebenaran.

Rhyoko Sajura yang memberiku tempat, sebuah tempat terpenuhi kasih.
Persetan orang mau bilang apa, aku tak pernah meminta pada orang.
Kutinju kerasnya bumi, sampai tulisan itu berbuah..tapi sang penjilat tak mau terbuku.
Tiga tahun mendekam dalam teralis besi...kusembunyikan identitas untuk tidak seorangpun
mengenal siapakah aku.
Tujuh bersaudara..aku lah seorang anak penentang, menentang tiap kehendak ayah.
Dan ibu yang selalu kubanggakan..sampai kubenci pada lelaki karena satu hal.
Seorang sahabatku dimasa kanak-kanak Sdn.Babakan Ciparay, harus terejang kehausan
para lelaki bejad.
Dan sebelum masuk rumah sakit Husada bandung, nyawanya terenggut eronis.

Aku..aku hanya diam menatap perlakuan itu.
Tak bisa membela sahabatku sendiri, beralih aku pndah kejakarta menetap dicipinang muara.
Sekolah dasarku terbengkalai selalu berpindah-pindah tanpa mengeyam nikmat sedikitpun.
Lebih pedih ketika terkapar dihadapanku sebuah truk menerabas tubuh Rhyoko..dikota tua.
Aku menjauh dan semakin jauh dari semua sampai ayah menempatkan aku disebuah rumah saudaraku, tapi bukan kedamaian yang kudapatkan.
Aku seperti budak yang terlihat ditiap kerumunan pasar..inikah saudara, achh persetan.
Benciku semakin dalam..tak bekeinginan tinggal dalam hangatnya kasih sayang mama.
Terludahi..termaki..tercaci..tertampar..pernah kurasakan, sakitnya melebihi pedang yang terhunus.
Dunia hitam kubawa sebagai pengedar narkotika.

Pondok bambu tempat terakhirku...
Kutemukan kedamaian jika tuhan itu memenuhi ruang hatiku yang kandas.
Sampai kini kulenyapkan masa itu yang menyakitkan, tapi salahkah jika cinta terlarang
dianggap bejad
Tidak..kataku, lebih bejad jika seseorang memilih putih terlebih dahulu.
Sebelum ia tahu bahwa putih ditumbuhi hitam mendalam, baunya lebih pengar.
Aku diam untuk diam dan selalu diam jika terjerumat kata rindu.
Rindu  itu yang memberiku acuan untuk kusabarkan hatiku, tapi manusia mengapa
tak punya naluri.
Sesalahku menjadi sebuah bangkai selalu aku yang terhempas mutlak.

Kau yang kutemui dalam bias-bias pedihku...
Kuharap satu darimu sebelum nafasku terhenti sampai disini.
Kembali dan tempatkan ia kekasihmu yang lebih dulu memasuki ruang hatimu.
Yang menata hari serta waktunya untuk bersamamu.
Jangan menatapku yang setengah terkulai dengan menahan sesak dibagian tubuhku.
Ini diamku selama ini..kau salah jika kau mengganggapku haruss menjauh.
Aku menjauh karena aku bukanlah tempatmu..
Sampai batas waktupun ketika aku harus benar-benar hilang, didetakku telah tercatat namamu
Ayunda Vitaghia Dewi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar