Minggu, 02 Februari 2014

Puluhan Malam Asuhan Sang Rembulan


Titiran hari terus telanjangi waktu menghentikan pudaran semu.
Sebentuk cagar berlari hilangkan tangis sisipkan pekat kedalam airmata.
Bola-bola dunia bergelembung membumbung hingga jatuhpun diketiak bumi.
Rajutan kelam bersinambung mengikuti arah mata angin yang tak bertepi.
Hulu tebing karam menimba sumur terjungkal diterumbu dosa.
Cucuran keringat hitam mengental penuh nista menetes dari balik wajah.
Wajah samar keruh penuh debu dan kotoran sampah.
Tak lekang tubuh gontai menjajaki jalan setapak dalam serambutnya hutan belantara.
Mencari terang tersesat rimba diri tak dapat berpulang.

Inikah juntaian malamku yang beralas krontang ditepi danau telaga warna.
Fana melingkar dengan ujung lurik sepasang bola mata lantang menatap buana.
Achh...hanya terangkai kelipan atap tanpa celah, saat cerobongnya tertutup kepingan luka.
Menganga kemudian berlubang menjadi duri penuh amarahsuli.
Tak khayal bila serumpit bernyanyi dendangkan lagu irama pedih, aku atau kau yang tersudut
jeruji sepinya kisi-kisi terlali besi pencagak dunia.
Jangan..jangan kau hembuskan ribuan tangis jika itu kau basuh dusta.
Menjauhlah dari serpihan-serpihan lukisan yang tergambar hitam dari jemari tanganku.
Karena aku bukan kepundak yang dapat kau lenakan dengan tipuan.

Atap langitku berdecik teriris lirih ketika kau pergi dengan kepalsuan.
Diam hening merambah aku yang tertatih diantara duka mengoyak hati.
Engkau tanamkan aku seperangkat kesakitan, engkau torehkan rinduku dengan makian.
Menangis aku tak mampu hanya terulas senyumku yang bersimpuh.
Mungkin benakku telah mati ketika kulewati bintang-bintang, kujejaki semburat awan, kunaungkan
rinduku yang terbui, kudaki tiap tebing berliku untuk menggapai sejuta maknamu.
Sampai saat ini aku tak bergeming bersama puluhan malam asuhan sang rembulan.
Terlempar entah pada alam yang mana...aku diam.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar